<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8997976591671956304\x26blogName\x3dratih\x27s+story+:)\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://ratihjavariani.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://ratihjavariani.blogspot.com/\x26vt\x3d1016960885192599136', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Kamis, 02 Desember 2010

♥ CERPEN PART 2#

Sekarang aku sedang meneruskan pendidikanku di bangku   kuliah.   Aku tidak malu dengan kekurangan yang kumiliki. Walaupun teman-temanku terkadang berpandangan aneh kepadaku. Biarlah mereka berkata apa, inilah aku apa adanya dengan kelebihan dan kekuranganku. Pernah terbesit dibayanganku, aku ingin seperti remaja-remaja lain yang dapat melihat indahnya dunia. Tetapi buat apa disesali karena ini sudah terjadi dan aku tidak boleh menyesalinya. Aku harus terima. Inilah kehidupanku yang nyata.
“Kamu itu sudah besar. Usiamu sudah menginjak 19 tahun. Kamu sebentar lagi akan menginjak dewasa. Apa kamu tidak ingin mempunyai penglihatan sempurna kembali? Kami ingin mengembalikan penglihatanmu seperti dulu. Tetapi kenapa kamu selalu menolak ajakan kami untuk mencangkok mata? Itu semua kami lakukan demi kebaikanmu.”cetus ibuku.
Aku bosan dengan ucapan mereka seperti itu. Aku nyaman dengan kehidupanku sekarang. Aku bingung harus berbuat apa. Aku ingin membahagiakan mereka. Tetapi dengan cara apa? Mungkin dengan menuruti perkataan mereka aku dapat membuat mereka senang. Mereka melakukan itu semata-mata hanya untukku dan kehidupanku yang lebih baik. Akhirnya aku menyetujui tawaran mereka. Sungguh keputusan yang berat.          
Malam itu juga, aku di berangkatkan ke rumah sakit untuk menjalani perawatan. Hatiku masih bimbang. Di dalam lubuk hatiku yang paling dalam berkata, “Kau pasti bisa.” Perkataan itu yang membuatku tegar dalam menjalani proses ini.               
Tiba saat yang paling menegangkan, ketika aku memasuki ruang operasi. Ayah, Ibu dan Kakakku memberikan dukungan sebelum memasuki ruangan tersebut dan berdoa untuk keselamatanku. Sesaat di dalam ruangan, aku hanya dapat mendengar percakapan dokter dan suster yang sepertinya ada di dekatku. Perkataan Ibu membuatku selalu yakin, “Pasrahkan hidupmu kepada Tuhan, karena Dialah yang berhak atas segalanya. Kita hanya bisa berencana tetapi Tuhanlah yang memutuskannya.” Aku tertidur setelah dokter menyuntikkan bius kedalam infusku. Aku tidak menyadari lagi apa yang terjadi di sekitarku.
Beberapa lama kemudian, aku mendengar suara ibu, ayah dan kakakku disekitarku menanyakan kabarku. Aku merasakan perban menempel di mataku.
“Ibu, dimana aku sekarang?”
“Kamu sudah ada di kamar. Operasi itu berjalan dengan sempurna. Beristirahatlah, nak. Ibu selalu setia mendampingimu.”

Hari-hari kulalui di rumah sakit dengan mata yang masih diperban. Terdengar suara teman-temanku datang menjengukku. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan keadaan seperti ini. Badanku lemah tak berdaya. Yang bisa ku lakukan hanya berdoa kepadaNya.

Saat-saat yang ku nantikan pun tiba. Hatiku berdetak kencang untuk melihat hasil yang sudah lama ku tunggu. Inilah waktunya untuk membuka perban mataku.
“Nanti jika perbannya sudah di buka, buka matamu secara perlahan-lahan.” kata dokter sambil membuka perban mataku.
“Iya dokter, terima kasih! Aku sudah tidak sabar ingin melihat hasilnya.”
“Baiklah, sekarang buka matamu secara perlahan-lahan. Jangan terlalu dipaksa.”
“Aku belum bisa melihat apa-apa. Penglihatanku masih buram. Hanya cahaya-cahaya yang dapat aku lihat.”
“Iya memang begitulah. Itu baru permulaannya saja. Lambat-laun kau akan mendapatkan semuanya. ”

Semoga apa yang dokter katakan itu benar. Aku takut terjadi hal-hal yang tidak-tidak dengan mataku ini. Aku memandangi keadaan di sekelilingku. Walaupun penglihatanku berbayang-bayang, tetapi aku harus terus mencoba. Tidak hanya aku yang berada di dalam kamar itu, tetapi masih ada pasien lainnya yang juga terbaring lemah sama sepertiku. Pandangan mataku terhenti ketika aku melihat sosok wanita separuh baya sedang melihatku dengan sorot mata yang tajam. Dia terbaring dengan tangan di infus dan bantuan pernapasan di hidung. Matanya seolah-olah mengisyaratkan padaku agar aku dapat menolongnya. Entah apa maksudnya, aku tak tahu. Aku terus memikirkannya, hingga aku akhirnya tertidur.

my postings ♥
17.31


♥ my information


♥ about my self



    I'm ratih javariani utari. It's my page and all of about my story. You can read, share and enjoy with my blog.




♥ my thanks to

♥ my posting




Taylor Swift - Love Story